Jumat, 25 Desember 2020

HAM dan Pergulatannya di Era Globalisasi : "Mengupas Potret Penistaan Hak-Hak Kemanusiaan di Negeri Flobamora (Hutan adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT) dalam Modus Investasi Internasional"


(Sebuah Tinjauan Sosiologis)

Oleh
Ardiyansah Lawe Toda
KABID PPPA PERIODE 2019-2020


Saya menulis Opini ini berangkat dari keresahan saya dalam menyaksikan suatu realitas buruk menyoal isu kekerasan yang masih terus dipelihara benihnya dan ditumbuhkembangkan sebagai suatu praktik diktator oleh rezim penguasa di tanah flobamora tercinta. 


Praktik buruk nan menjijikan ini kiranya telah banyak menuai kecaman dari banyak pihak khususnya para aktivis kemanusiaan. Rezim lalim yang terus menyuarakan kemaslahatan, juga kesejahterahan bertalian dengan hak untuk mendapatkan kehidupan dan ketentraman bersosial, nyatanya jatuh pada penghianatan dari korporasi atas nama investasi.


Buah dari benih kekerasan rezim lalim ini dapat kita saksikan pada Konflik hutan adat Pubabu di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT antara masyarakat desa Linamnutu dan Pemerintah Provinsi NTT tahun ini.  Pasalnya isu ini telah cukup banyak menyita perhatian khalayak, pun menjadi topik empuk nan ramai diperbincangkan soal perebutan hak kepemilikan tanah ulayat di hutan adat tersebut.


Konflik agraria yg bermuara pada konflik kemanusian ini setidaknya telah berumur 38 tahun lamanya terhitung proyek percontohan intensifikasi peternakan di wilayah hutan adat Pubabu tahun 1982. Kemudian terdapat beberapa peristiwa pelanggaran baru, pada tahun 2012, 2017,  dan kasus yg terjadi tidak lama ini tepatnya 7 agustus serta 16 Oktober 2020, yaitu penggusuran dan tindakan represif aparat pemerintahan yang sangat berdampak bagi warga di sana.


Sedikitnya saya uraikan potret represif korporasi dimana bersumber dari kegiatan literasi saya lewat beberapa media online.Dalam kasus kekerasan yang dialami masyarakat adat Pubabu. 


Komnas HAM menyatakan memberikan perhatian serius atas kasus yang menimpa masyarakat adat Pubabu. Kata Komisioner Komnas HAM, Beka Hulung Hapsari (VOAINDONESIA.COM). Pernyataan yg dilontarkan oleh Komisioner KOMNAS HAM itu sangat berdasar sebab disandarkan pada fenomena pelanggaran HAM di Desa Linamnutu. Salah seorang perempuan adat Pubabu, Marteda Ester mengatakan tindak kekerasan dan intimidasi telah dilakukan oleh Pemprov. NTT bersama aparat penegak hukum. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya penggusuran terhadap beberapa keluarga masyarakat adat Pubabu. Bagi masyarakat adat, tentu saja hal tersebut telah menimbulkan ketakutan serta trauma yang mendalam, terutama perempuan dan anak-anak. 


"Mereka tetap mengintimidasi kami. Mereka sudah membongkar belasan rumah. Saat ini mereka masih beroperasi (menggusur) tapi masyarakat tetap tinggal di bawah pohon. Mereka (aparat) bawa senjata, menodong ibu-ibu dan menggiring supaya keluar dari lokasi itu termasuk saya," ungkap Ester.


Lewat media amatir yang saya baca dikutip dari (TIRTO. ID) perihal kedatangan Dinas Peternakan Prov. NTT untuk melakukan penyiraman tanaman kelor di hutan adat. Masyarakat menolak, tapi mereka [rombongan] paksa untuk kasih turun air dari mobil," kata Niko ketika dihubungi Tirto, Jumat (16/10/2020).


Demaris Tefa (48) sedang memegang selang, ia termasuk penolak kedatangan. Sontak ada pihak dari Dinas Peternakan menarik selang tersebut. Padahal tidak ada provokasi siang itu. Kemudian banting ibu ke tanah," sambung dia. Demaris juga sempat dicekik dan terdapat luka di lehernya.


Disini saya tidak berniat untuk mendudukan posisi saya sebagai hakim guna menjudge kepemilikan tanah adat adalah siapa. Sebab hal itu berada di luar otoritas saya yg hanya bisa menyimak dan memberikan pendapat. Otoritas itu sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yudikatif. Oleh karena batasan itu saya hanya akan melihat kasus ini dalam kacamata sosiologis sebagaimana sub judul diatas. 


Bagi saya potret permasalahan di atas adalah suatu bentuk aktifitas tirani oleh pemilik kebijakan. Soal perampasan hak-hak-hak kemanusian yg telah dibekali oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada manusia. Sebut saja Hak perlindungan dan rasa aman. Amanah dari para Pemegang Kebijakan adalah menjamin tersedianya rasa aman bagi civil society, hal itu diwujudnyatakan dengan disediakannya aparat keamanan sebagai pihak pemegang peran kunci keamanan nasional. 


Bahwa tugas prinsipal para aparat adalah mengayomi, meredam konflik sosial, dan menjaga kestabilan sosial. Prinsip dasar ini nyatanya berbanding terbalik dengan fakta sosial yg terjadi di negeri flobamora tercinta ini, tepatnya di desa Linamnutu. 


Laras yg sepatutnya ditodongkan pada musuh berbalik mengarah pada tuan rumah demokrasi, pukulan, tendangan, bahkan cekikan menghiasi bingkai dari hutan adat Besipae. Tindakan represif aparat ini menjadi cerminan betapa bobroknya tatanan kebijakan pemerintah sehingga membawa pada bertambahnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pihak aparat. 


Fenomena ini menggiring saya bernostalgia pada produk ulung tirani menyoal tatanan sosiologis  dalam memetakan kelas sosial, kelas yg dimaksud adalah borjuis dan proletar, pihak borjuis sebagai pihak pemilik modal memodali negara untuk menelurkan kebijakan yg menekan dan menindas kaum buruh atau proletarian. Negara juga memfasilitasi Pihak pemilik modal dengan disokong oleh aparat sebagai pengawal setia untuk meredam pemberontakan yg dilakukan oleh pihak proletarian, sehingga yg miskin semakin miskin dan tertindas sedangkan yg kaya semakin kaya. Fakta sejarah kelam itu ternyata begitu awet juga mendarah daging sehingga dapat kita saksikan sekarang.


Melihat kondisi ini menyoal wujud perampasan hak untuk merasakan keamanan dan ketentraman berkehidupan bagi saya menjadi naskah konstitusi yg telah kehilangan ruhnya.


Penggusuran dan pengalokasian masyarakat adat Besipae dari lahan tersebut sejatinya juga sedikit banyak merubah mata pencaharian mereka, pasalnya lahan tersebut sudah menjadi titik nadir penyambung nyawa masyarakat. Mayoritas penduduk disana hanya berprofesi sebagai petani sehingga lahan tersebut telah menjadi sandaran logistik mereka selama ini. Dalam hal ini hak untuk mencari nafkah sejatinya tidak diperhitungkan oleh pemerintah.


Pada dasarnya pemberdayaan lahan yg dimaksud oleh gubernur NTT Viktor B. Laiskodat diniatkan untuk kepentingan masyarakat disana sebagaimana yg disampaikannya Nanti Besipae ini akan dijadikan sebagai pusat pengembangan marungga, kelor dan peternakan terbaik" (POS-KUPANG.COM) dan hal ini berguna untuk memfasilitsasi masyarakat NTT sebagai masyarakat yg bermartabat khususnya masyarakat BESIPAE untuk memiliki pekerjaan yg layak, sebab lahan itu dijanjikan nantinya dikelola oleh masyrakat setempat. 


Bagi saya motif yg disampaikan gubernur ini baik adanya dan sangat menyentuh kalbu, akan tetapi kebijakan yg diambil oleh pemerintah dalam menindas dan memindahkan rakyat secara paksa sebelum ada putusan resmi perihal hak kepemilikan tanah menjadi paradoks yg berbuah  masalah, sebab sebelum ada putusan hukum bertalian dengan kasus agraria ini pemerintah tidak dibenarkan secara regulasi untuk melakukan aktifitas apapun pada lahan tersebut. 


Hal ini menjadikan saya harus kembali mengubah pandangan baik saya kepada pemerintah. Dalam kaitannya menjamin kemaslahatan kehidupan bagi rakyat lewat pemberdayaan Kelor dan peternakan ini, mengapa terkesan terburu-buru, sampai rakyat harus dipaksa bahkan ditodongkan dengan senjata guna meninggalkan lahan tersebut, apakah modus pemerintah ini tidak diniatkan untuk rakyat? Sebab bila diniatkan untuk ketentraman dan kemaslahatan rakyat tentunya rakyat besipae tidak boleh ditindas, diintimidasi pun diprovokosi, Apakah ini diniatkan untuk para investor? pertanyaan ini saya lontarka  oleh sebab kelor telah berhasil membumi dan telah menjangkau negara-negara luar. Kelor sendiri telah dikelola menjadi obat-obatan, sebut saja obat penambah dara dan imun, bahkan juga dibuat menjadi cokelat, pun cake yg mahal hargaya, sedangkan kelor sendiri dalam pemberdayaannya tidak memakan biaya yg besar. Ah Saya berharap itu merupakan imajinasi liar saya belaka.


Bebalnya pemerintah sejatinya telah menggiring mereka pada suatu tindak inkonstitusional serta pelanggaran HAM dalam hal perampasan hak untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini tentunya menambah rekor buruk pemerintah dalam hal penyelsaian kasus HAM di NTT. Pemerintah boleh sibuk mengusut kasus human trafficking yg dilakukan oknum-oknum tidak bertanggung jawab tetapi pemerintah juga menelurkan suatu tindakan pelanggaran  HAM baru kepada masyarakat adat BESIPAE.


Upaya pemerintah untuk mendongkrak  NTT, sebagai provinsi hebat lewat pemberdayaan Kelor juga peternakan sebagai bentuk investasi, pada hakikatnya baik. Sebab Kelor telah mampu diekspor ke negara luar dan dikelola sebagai obat-obatan juga pangan. Ini merupakan investasi luar biasa yg dimiliki NTT. Tetapi tujuan baik ini pun harus diselaraskan pada regulasi yang ada, agar tetap tercipta keseimbangan sosial dalam artian hak warganegara. Protes masyarakat Besipae menurut saya disebabkan oleh ketidakseimbangan itu. Maka pemerintah provinsi  NTT sebagai pemegang kekuasaan harus senantiasa bijak agar tidak menciderai hak-hak kemanusiaan yg ada.