Rabu, 28 Oktober 2020

Siasat Burung dalam Sangkar; Catatan Mahasiswa

Ahmad Ryan Kurniadi Makuasong

Civitas Hijau Hitam

 

Dalam pandangan masyarakat luas, mahasiswa diartikan sebagai kaum yang memiliki kecerdasan intelektual  mempuni baik dari segi retorika maupun  pengaplikasiannya dalam kerja nyata, terlepas dari disiplin ilmunya masing-masing. Mahasiswa dididik dan dieksperimenkan dalam ruang-ruang pendidikan yang disebut dengan Universitas. Sebagai warga negara yang dikenal memiliki rempah-rempah ilmu pengetahuan yang berlimpah, maka sudah sepantas dan selayaknyalah  untuk kemudian menjelma menjadi orang-orang yang mampu mengembangkan dan memanfaatkan ilmunya dikemudian hari bagi suatu peradaban, jika suatu peradaban dikatakan sangat luas maka minimal bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya. Nah, dewasa ini apakah mahasiswa sekarang demikian adanya?

Ruang-ruang pendidikan tidak dapat menjamin mahasiswa untuk kemudian mampu secara utuh mengimplementasikan ilmunya dalam wilayah masyarakat ataupun negara pada umumnya. Namun tidak pula dipungkiri bahwa ruang pendidikan  tersebut merupakan salah satu faktor yang menjadi fundamental dalam setiap pergerakan mahasiswa baik internal maupun eksternal.

Dalam proses kehidupanya menjabat sebagai kaum intelek, mahasiswa dibenturkan dengan tiga perannya  yaitu agent of change, social control, dan iron stock. Salah satu yang akan menjadi fokus penulis yaitu agent of social control. Peran yang satu ini berada dalam wilayah masyarakat, budaya, tataran sistem suatu negara, dan lain sebagainya. “Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang memikirkan diri sendiri”itulah yang dikatakan salah satu tokoh Nasionalis bangsa  Ir. Soekarno. Selaras dengan pernyataan tersebut jika dibenturkan dengan seseorang yang berlebelkan siswa dengan ke-Mahaan nya sebagai bukti atau tanda pengenal bahwa ia berintelek, maka sudah seharusnya peran social control tersebut dijaga dan dipolarisasikan dalam kehidupan nyata.

Dewasa ini di negara antah berantah tidak sedikit orang yang kemudian melakukan perannya sebagai kaum intelek dengan hanya termenung diam  membaca buku ditemani dengan susu yang hangat diatas mejanya, padahal dalam lingkungannya sedang kacau balau dan penyimpangan terjadi dimana-mana. Apabila demikian adanya, maka layakkah disandingkan dengan mahasiswa? 

“Lebih baik menjadi kupu-kupu bebas bersayap tipis daripada menjadi burung yang hanya berada dalam sangkarnya”. Sajak tersebut menggambarkan bahwa seekor burung yang memiliki sayap tebal dilengkapi dengan suara yang canggih mengharmonikan melodi yang merdu hanyalah kesia-siaan belaka jika ia hanya berada dalam wilayah sangkarnya saja. Apabila hanya menderingkan suara merdunya dalam sangkar, maka apalah gunanya sebagai kaum intelek.

Sebagai mahasiswa tidak sepantasnya untuk kemudian bersikap apatis dalam melihat suasana lingkungannya. Lebih buruk lagi seseorang yang  hanya mengandalkan suaranya ataupun berbicara tanpa memiliki sebuah landasan/dasar yang kuat dalam mengedepankan opininya.  Jika begitu adanya maka lebih baik diam karena tidak mengetahui sesuatu dibandingkan dengan seserorang yang terus bersuara namun tidak mengetahui dasarnya, dan lucunya suara tersebut hanya dalam wilayah sangkar. 

Siasat burung dalam sangkar sudah banyak terjadi di negara antah berantah. Selalu berkoar-koar dengan hanya mementingkan diri sendiri merupakan suatu jalan menuju keapatisan belaka. Bangunan yang roboh akibat bencana sudah selayaknya untuk diperbaiki bukan sekedar untuk diperbincangkan dengan kesia-siaan. Dalam prosesnya, jika semakin larut dalam waktu, maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi suatu budaya dalam wilayah mahasiswa. Inilah yang perlu di refeleksikan secara mendalam dan perlu dipilah-pilah mana budaya yang perlu dilakukan dan mana yang harus dijauhkan. 

Seseorang yang hanya menilai secara subyektif tanpa mempertimbangkan sisi berlawanan apakah pantas disebut mahasiswa?

Selalu peka dalam melihat perubahan sosial yang terjadi adalah tugas utama kaum intelek. Dalam buku karya Jalaluddin Rahmat yang berjudul Rekayasa Sosial;Reformasi atau Revolusi,  yang isinya dikatakan bahwa salah satu strategi perubahan sosial yaitu persuasive strategy. Nah perlu diketahui bahwa, strategi ini berperan dalam memperluas suatu pandangan ataupun opini dengan menggandeng suatu wadah yaitu media massa. Peran media massa sangatlah penting adanya karena akan berimbas pada wilayah yang cukup luas dalam penyampaian informasi ataupun suatu opini. Disinilah yang harus digarap oleh mahasiswa untuk kemudian membuat suatu tulisan-tulisan baik itu ilmiah ataupun pandangan sosial. Tulisan-tulisan dalam media massa merupakan hasil perkawinan dua aspek yaitu pemikiran dengan teknologi.

Tulisan-tulisan yang dimuat akan berdampak luas pada publik sebagai pembaca dalam melihat pemikiran dari penulis tersebut. Dalam melihat suatu lingkungan ataupun negara yang kemudian menurut pemikirannya sedang bermasalah maka yang dibutuhkan dari kaum intelek yaitu suatu pergerakan dan karya tulis. Apalah gunanya menjadi seorang pemikir jika hanya terbenam dalam alam idea dan tak dapat diejawantahkan pemikirannya dalam wilayah luas, bukankah itu merupakan suatu kesia-siaan belaka? Nah bagaimana keadadan mahasiswa  di negara kalian?


Gubuk ilmu,Kupang;14 Oktober 2020


Penulis


Tidak ada komentar: