Oleh: Ardiyansah
Lawe Toda
KABID PPPA Periode 2019-2020
Polemik SARS
Cov-2 atau dikenal dengan Covid 19 telah menjadi fenomena serius di Indonesia
satu bulan ini. Terhitung dari ditetapkannya dua warga negara indonesia yang
berdomisili di Depok sebagai pengidap Covid-19 pada, (2/3/2020). Ini merupakan
kasus pertama yang ditemukan di indonesia juga sebagai awal mula “Pembatasan
Sosial” (Social Distancing) diberlakukan.
Mengacu Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan
Masyarakat COVID-19 di Indonesia, Pembatasan sosial adalah pembatasan
kegiatan tertentu penduduk dalam satu wilayah. Pembatasan sosial dilakukan oleh
semua orang di wilayah yang diduga terinfeksi penyakit. Hal itu disebabkan
virus ini dapat dengan mudahnya menular, penularannya melalu tetesan kecil
(droplet) yang dikeluarkan pada saat seseorang mengalami flu, bersin, dan
batuk.
Pembatasan sosial juga bertalian pada pembatasan interaksi fisik individu yakni dari tidak berdekatan atau berkumpul di keramaian atau tempat-tempat umum, tidak meyelenggarakan kegiatan atau pertemuan yang melibatkan berkumpulnya masyarakat, (melayat, pesta nikah, arisan, nongkrong), tidak melakukan perjalanan ke luar kota atau luar negeri, tidak berkunjung dan menerima tamu, bekerja dari rumah, dan beribadah dari rumah.Pembatasan sosial berskala besar ini merupakan langkah Pemerintah untuk menangani tersebarnya virus ini secara lebih masif, pun memutus mata rantai penyebaran penularan virus ini.
Namun alih-alih
ingin mencegah penyebaran virus, proses penyebaran pandemi ini malah semakin
masif dari hari ke hari. Dikutip dari KOMPAS.com, (14/4/2020) telah terkonfirmasi
sebanyak 4,839 kasus positif, dirawat
3,954, meninggal 459, dan sembuh 426 orang untuk seluruh provinsi yang ada di
Indonesia, dua provinsi terakhir yang terkonfirmasi adalah Provinsu Nusa
Tenggara Timur (NTT) dan Gorontalo yakni masing-masing 1 kasus, (9/4/2020). Hal
ini terjadi karena tidak semua elemen masyarakat dapat menjalankan pembatasan
sosial sesuai himbauan dari pemerintah, tuntutan ekonomi yang perlu untuk
ditambal merupakan salah satu indikatornya, pembatasan sosial seolah menjadi
senjata pemusnah bagi kaum proletar (kelas bawah) sebab tidak mungkin
mengganjal perut jika tidak keluar
rumah.
Ketidakinginan Pemerintah
pusat untuk memberlakukan Karantina wilayah membawa dampak yang cukup
signifikan dalam hal meningkatnya kasus pandemi ini. Karantina wilayah sendiri
telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina wilayah
mencakup karantina kesehatan. Karantina wilayah merupakan pembatasan penduduk
dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga
terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah
penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Karantina
wilayah sendiri hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, ketika karantina
wilayah diberlakukan maka wilayah karantina diberi garis karantina dan dijaga
terus menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan kepolisisan Negara Republik
Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. Anggota masyarakat yang
dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.
Namun
realitasnya karantina wilayah hingga sekarang belum diberlakukan oleh
pemerintah pusat yang menurut hemat saya dikarenakan ketakutan pemerintah bahwa
akan terjadi resesi pada sektor ekonomi dan berimbas padah lesuhnya sektor
perekonomian Indonesia karena harus menanggung segala kebutuhan rakyat semasa
karantina wilayah. Himbauan untuk tetap di rumah dan larangan bepergian ke luar
negeri/luar kota menjadi tidak berdasar sebab perlindungan pemerintah masih
memiliki celah penyebaran dan pemusnahan manusia lewat himbauan. Apakah
kelesuhan ekonomi tak dapat diatasi? dan apakah kematian manusia oleh pandemi
dapatdihidupkan?, bukankah kita masih bisa menghidupkan kembali ekonomi lewat
usaha manusia? Lantas bagaimana mau menghidupkan ekonomi tanpa manusia?
Sudah sepatutnya
kita belajar dari negara-negara besar dunia yang gagap dalam mengantisipasi
penyebaran pandemi ini. Saat ini amerika serikat tercatat sebagai negara yang
memiliki kasus infeksi terbesar mencapai 582.607 dengan 44.261 pasien sembuhdiikuti
Italia, Spanyol dan Jerman dimana angka kematian terbesar tercatat di Amerika
serikat, yang mencapai 23.628 jiwa menurut data peta Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE yang dikutip Selasa, (14/4/2020). Ini telah
menjadi bukti ril betapa koyaknya negara-negara tersebut akibat hantaman dari
pandemik dan lambannya pemerintah dalam mengkaunter Covid 19.
Ditengah
gugupnya negara melakukan karantina wilayah, ada beberapa daerah yang saat ini
telah memberlangsungkan karantina Wilayah menyoal Pandemik, sebut saja Tegal,
Sumatera Barat, Papua, Bali, Tasik Malaya, dan Aceh. Hal tersebut menjadi
keputusan yang masuk akal sebab kekhawatiran Kapala Daerah bertalian dengan
mata rantai Covid-19 yang ta kunjung putus. Memang terkesan menentang otoritas
pusat, namun cukup masuk akal untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi.
Keputusan
Karantina Wilayah yang diambil patut untuk diapresiasi, sebab di tengah
ketidakpastian putusan pemerintah dan penyebaran virus yang tak kunjung selesai
menjadi motivasi untuk daerah lainnya agar sesegera mungkin menutup setiap
akses pintu masuk sekaligus sebagai sindiran akan kegagapan pemerintah pusat.
Terkesan membangkang memang, namun lebih memiliki nilai kepastian.
Dari sisi
politis lebih parah lagi, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan oleh
Pemerintah ke DPR juga terus menerus dibahas, entah apa yang sedang merasuki
para petinggi ini dan bijakkah untuk dibahas dalam situasi yg tidak kondusif
ini. Berulang kali mahasiswa dan buruh turun ke jalan meneriakkan penolakan
mereka terkait RUU tidak masuk akal ini dari aksi hingga bakar ban.
Kebijakan yang
terkandung dalam Omnibus Law, baik dalam RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU
UMKM hanyalah berimbas menyengsarakan rakyat. RUU Cipta kerja sebenarnya hanya akan
menurunkan produktivitas kerja para buruh sebab jam kerja dan lembur yang harus
ditambah. Ini juga tidak sesuai dengan tujuan pendidikan kita sebab sarjana
kita hanya diprioritaskan untuk pemenuhan tenaga kerja dan bukan
intelektualisme. Dalam pembagian upah dalam pasal 88b, upah di bayar per jam.
Hal tersebut akan merugikan pendapatan pekerja apabila produksi setiap harinya
mengalami degradasi, Serikat buruh juga tidak lagi dilibatkan perihal PHK
padahal selama ini pembela para buruh adala Serikat Buruh.
Regulasi
pembahasan Omnibus Law mewajibkan etos kejujuran dan keterbukaan esensi masukan
publik yang tidak bersifat formalitas, tentunya dalam kondisi ini publik tidak
bisa mengikuti jalannya persidangan karena kebijakan PSBB yang telah
diberlakukan. Hal tersebut berimplikasi pada berkurangnya unsur demokrasi.
Pembahasan
Omnibus Law yang terus tancap gas di tengah wabah yang sedang menimpa tanah air
membawa dampak psikologis pada masyarakat bahwa DPR hanya memanfaatkan situasi
di tengah polemik ini, dan akan semakin jelas bahwa RUU ini merupakan
kepentingan siapa. DPR sudah kehilangan rasa empatinya terhadap jutaan buruh
yang hingga hari ini ada yang tetap bekerja di pabrik meski ada imbauan
pembatasan interaksi sosial dan fisik. Selain itu juga banyak buruh yang
terancam PHK di tengah pandemi Covid-19.
Sepatutnya DPR sebagai Representasi dari
Rakyat memilah fokus mana yang perlu didahului. Di tengah wabah yang sedang
menggerogoti negeri DPR malah sibuk membahas RUU dan berimbas pada bertambahnya
ketidakpercayaan masyarakat terkait RUU Omnibus Law yang memihak kepada buruh.
DPR dan Birokrasi seolah memberikan terapi penyembuhan yang keliru pada Ibu
Pertiwi bahwa RUU Omnibus Law adalah jalan keluar mengatasi Pandemi.
Lucunya lagi di
tengah pandemik ini masih ada para stake holder begitu lihai memanfaatkan
momentum ini sebagai sarana menaikkan elektabilitas dengan membagikan masker
dan disinfektan berlambangkan partai tertentu dengan kedok membantu pemerintah
dalam hal penanggulangan penyebaran
virus. Dari segi kesehatan hal ini bisa dimaklumi akan tetapi motif kemanusiaan telah tergadaikan oleh
popularitas partai di ajang pemilu. Momentum pandemi menjadi lahan basah
mendulang simpati masyarakat.
Tersiar kabar
juga yang mengejutkan baru-baru ini dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Menkumham) Yasona Laoly terkait revisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012
tentang aturan pemberian remisi untuk narapida korupsi,narkotika, dan obat terlarang,
serta terorisme dalam rangka menghindarkan para tahanan dari Penularan
Covid-19. Hal ini sangat mengejutkan sebab bertentangan dengan Peraturan
Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 yang diterbitkan pada 30 Maret 2020.
Dalam Permen itu
disebutkan yang mendapatkan remisi adalah narapidana yang tidak diatur oleh PP
Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Berdasarkan aturan tersebut
menjadi tidak relevan apabila Napi Koruptor, Terorisme, dan Pelanggar HAM berat
lainnya ikut dibebaskan. Pembebasan ini juga mempertimbangkan kondisi fasilitas
LAPAS yang sudah tidak memadai dengan menumpuknya NAPI dalam sel namun agak
mengherankan untuk sel bagi para pelaku Tipikor yang begitu mewah, dilegkapi
dengan segala fasilitas bak hotel. begitu oportunisnya para politisi baik yang
di kurung di jeruji hingga yang duduk di kursi. Lucu memang.
Menutup tulisan
ini sedikit pesan dari saya bahwa sudah menjadi tanggung jawab negara dalam
melindungi keutuhan rakyatnya, tugas negara adalah mengayomi dengan memberi
jalan keluar yang tidak imajinatif, juga tidak memuluskan kepentingan partai
atau oknum tertentu tetapi kepentingan bangsa, hal tersebut bisa dimulai dari
perancangan anggaran yang terukur agar bisa menjamin ketersediaan pangan, dan
APD bagi para tenaga medis, juga fasilitas yang memadai bagi para pengidap
Covid-19, memastikan harga bahan pokok yang ada di pasaran tidak melonjak
melampau daya beli masyarakat, memberikan keringanan kepada para pelaku UMKM,
menjamin informasi yang akurat dan transparan terkait perkembangan Covid-19
serta edukasi pencegahan dari pusat pimpinan hingga rukun tetangga.