Kamis, 16 April 2020

Pandemi Covid 19 Lelucon Birokrasi dan Politisi





Oleh: Ardiyansah Lawe Toda
KABID PPPA Periode 2019-2020


Polemik SARS Cov-2 atau dikenal dengan Covid 19 telah menjadi fenomena serius di Indonesia satu bulan ini. Terhitung dari ditetapkannya dua warga negara indonesia yang berdomisili di Depok sebagai pengidap Covid-19 pada, (2/3/2020). Ini merupakan kasus pertama yang ditemukan di indonesia juga sebagai awal mula “Pembatasan Sosial” (Social Distancing) diberlakukan.

Mengacu Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di Indonesia, Pembatasan sosial adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam satu wilayah. Pembatasan sosial dilakukan oleh semua orang di wilayah yang diduga terinfeksi penyakit. Hal itu disebabkan virus ini dapat dengan mudahnya menular, penularannya melalu tetesan kecil (droplet) yang dikeluarkan pada saat seseorang mengalami flu, bersin, dan batuk.


Pembatasan sosial juga bertalian pada pembatasan interaksi fisik individu yakni dari tidak berdekatan atau berkumpul di keramaian atau tempat-tempat umum, tidak meyelenggarakan kegiatan atau pertemuan yang melibatkan berkumpulnya masyarakat, (melayat, pesta nikah, arisan, nongkrong), tidak melakukan perjalanan ke luar kota atau luar negeri, tidak berkunjung dan menerima tamu, bekerja dari rumah, dan beribadah dari rumah.Pembatasan sosial berskala besar ini merupakan langkah Pemerintah untuk menangani tersebarnya virus ini secara lebih masif, pun memutus mata rantai penyebaran penularan virus ini. 

Namun alih-alih ingin mencegah penyebaran virus, proses penyebaran pandemi ini malah semakin masif dari hari ke hari. Dikutip dari KOMPAS.com, (14/4/2020) telah terkonfirmasi sebanyak  4,839 kasus positif, dirawat 3,954, meninggal 459, dan sembuh 426 orang untuk seluruh provinsi yang ada di Indonesia, dua provinsi terakhir yang terkonfirmasi adalah Provinsu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Gorontalo yakni masing-masing 1 kasus, (9/4/2020). Hal ini terjadi karena tidak semua elemen masyarakat dapat menjalankan pembatasan sosial sesuai himbauan dari pemerintah, tuntutan ekonomi yang perlu untuk ditambal merupakan salah satu indikatornya, pembatasan sosial seolah menjadi senjata pemusnah bagi kaum proletar (kelas bawah) sebab tidak mungkin mengganjal perut  jika tidak keluar rumah.



Ketidakinginan Pemerintah pusat untuk memberlakukan Karantina wilayah membawa dampak yang cukup signifikan dalam hal meningkatnya kasus pandemi ini. Karantina wilayah sendiri telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina wilayah mencakup karantina kesehatan. Karantina wilayah merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Karantina wilayah sendiri hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, ketika karantina wilayah diberlakukan maka wilayah karantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan kepolisisan Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.

Namun realitasnya karantina wilayah hingga sekarang belum diberlakukan oleh pemerintah pusat yang menurut hemat saya dikarenakan ketakutan pemerintah bahwa akan terjadi resesi pada sektor ekonomi dan berimbas padah lesuhnya sektor perekonomian Indonesia karena harus menanggung segala kebutuhan rakyat semasa karantina wilayah. Himbauan untuk tetap di rumah dan larangan bepergian ke luar negeri/luar kota menjadi tidak berdasar sebab perlindungan pemerintah masih memiliki celah penyebaran dan pemusnahan manusia lewat himbauan. Apakah kelesuhan ekonomi tak dapat diatasi? dan apakah kematian manusia oleh pandemi dapatdihidupkan?, bukankah kita masih bisa menghidupkan kembali ekonomi lewat usaha manusia? Lantas bagaimana mau menghidupkan ekonomi tanpa manusia?



Sudah sepatutnya kita belajar dari negara-negara besar dunia yang gagap dalam mengantisipasi penyebaran pandemi ini. Saat ini amerika serikat tercatat sebagai negara yang memiliki kasus infeksi terbesar mencapai 582.607 dengan 44.261 pasien sembuhdiikuti Italia, Spanyol dan Jerman dimana angka kematian terbesar tercatat di Amerika serikat, yang mencapai 23.628 jiwa menurut data peta Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE  yang dikutip Selasa, (14/4/2020). Ini telah menjadi bukti ril betapa koyaknya negara-negara tersebut akibat hantaman dari pandemik dan lambannya pemerintah dalam mengkaunter Covid 19.

Ditengah gugupnya negara melakukan karantina wilayah, ada beberapa daerah yang saat ini telah memberlangsungkan karantina Wilayah menyoal Pandemik, sebut saja Tegal, Sumatera Barat, Papua, Bali, Tasik Malaya, dan Aceh. Hal tersebut menjadi keputusan yang masuk akal sebab kekhawatiran Kapala Daerah bertalian dengan mata rantai Covid-19 yang ta kunjung putus. Memang terkesan menentang otoritas pusat, namun cukup masuk akal untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi.

Keputusan Karantina Wilayah yang diambil patut untuk diapresiasi, sebab di tengah ketidakpastian putusan pemerintah dan penyebaran virus yang tak kunjung selesai menjadi motivasi untuk daerah lainnya agar sesegera mungkin menutup setiap akses pintu masuk sekaligus sebagai sindiran akan kegagapan pemerintah pusat. Terkesan membangkang memang, namun lebih memiliki nilai kepastian.

Dari sisi politis lebih parah lagi, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan oleh Pemerintah ke DPR juga terus menerus dibahas, entah apa yang sedang merasuki para petinggi ini dan bijakkah untuk dibahas dalam situasi yg tidak kondusif ini. Berulang kali mahasiswa dan buruh turun ke jalan meneriakkan penolakan mereka terkait RUU tidak masuk akal ini dari aksi hingga bakar ban.

Kebijakan yang terkandung dalam Omnibus Law, baik dalam RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan, RUU UMKM hanyalah berimbas menyengsarakan rakyat. RUU Cipta kerja sebenarnya hanya akan menurunkan produktivitas kerja para buruh sebab jam kerja dan lembur yang harus ditambah. Ini juga tidak sesuai dengan tujuan pendidikan kita sebab sarjana kita hanya diprioritaskan untuk pemenuhan tenaga kerja dan bukan intelektualisme. Dalam pembagian upah dalam pasal 88b, upah di bayar per jam. Hal tersebut akan merugikan pendapatan pekerja apabila produksi setiap harinya mengalami degradasi, Serikat buruh juga tidak lagi dilibatkan perihal PHK padahal selama ini pembela para buruh adala Serikat Buruh.

Regulasi pembahasan Omnibus Law mewajibkan etos kejujuran dan keterbukaan esensi masukan publik yang tidak bersifat formalitas, tentunya dalam kondisi ini publik tidak bisa mengikuti jalannya persidangan karena kebijakan PSBB yang telah diberlakukan. Hal tersebut berimplikasi pada berkurangnya unsur demokrasi.

Pembahasan Omnibus Law yang terus tancap gas di tengah wabah yang sedang menimpa tanah air membawa dampak psikologis pada masyarakat bahwa DPR hanya memanfaatkan situasi di tengah polemik ini, dan akan semakin jelas bahwa RUU ini merupakan kepentingan siapa. DPR sudah kehilangan rasa empatinya terhadap jutaan buruh yang hingga hari ini ada yang tetap bekerja di pabrik meski ada imbauan pembatasan interaksi sosial dan fisik. Selain itu juga banyak buruh yang terancam PHK di tengah pandemi Covid-19.

Sepatutnya DPR sebagai Representasi dari Rakyat memilah fokus mana yang perlu didahului. Di tengah wabah yang sedang menggerogoti negeri DPR malah sibuk membahas RUU dan berimbas pada bertambahnya ketidakpercayaan masyarakat terkait RUU Omnibus Law yang memihak kepada buruh. DPR dan Birokrasi seolah memberikan terapi penyembuhan yang keliru pada Ibu Pertiwi bahwa RUU Omnibus Law adalah jalan keluar mengatasi Pandemi.

Lucunya lagi di tengah pandemik ini masih ada para stake holder begitu lihai memanfaatkan momentum ini sebagai sarana menaikkan elektabilitas dengan membagikan masker dan disinfektan berlambangkan partai tertentu dengan kedok membantu pemerintah dalam hal penanggulangan  penyebaran virus. Dari segi kesehatan hal ini bisa dimaklumi akan tetapi  motif kemanusiaan telah tergadaikan oleh popularitas partai di ajang pemilu. Momentum pandemi menjadi lahan basah mendulang simpati masyarakat.

Tersiar kabar juga yang mengejutkan baru-baru ini dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona Laoly terkait revisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang aturan pemberian remisi untuk narapida korupsi,narkotika, dan obat terlarang, serta terorisme dalam rangka menghindarkan para tahanan dari Penularan Covid-19. Hal ini sangat mengejutkan sebab bertentangan dengan Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 yang diterbitkan pada 30 Maret 2020.

Dalam Permen itu disebutkan yang mendapatkan remisi adalah narapidana yang tidak diatur oleh PP Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Berdasarkan aturan tersebut menjadi tidak relevan apabila Napi Koruptor, Terorisme, dan Pelanggar HAM berat lainnya ikut dibebaskan. Pembebasan ini juga mempertimbangkan kondisi fasilitas LAPAS yang sudah tidak memadai dengan menumpuknya NAPI dalam sel namun agak mengherankan untuk sel bagi para pelaku Tipikor yang begitu mewah, dilegkapi dengan segala fasilitas bak hotel. begitu oportunisnya para politisi baik yang di kurung di jeruji hingga yang duduk di kursi. Lucu memang.

Menutup tulisan ini sedikit pesan dari saya bahwa sudah menjadi tanggung jawab negara dalam melindungi keutuhan rakyatnya, tugas negara adalah mengayomi dengan memberi jalan keluar yang tidak imajinatif, juga tidak memuluskan kepentingan partai atau oknum tertentu tetapi kepentingan bangsa, hal tersebut bisa dimulai dari perancangan anggaran yang terukur agar bisa menjamin ketersediaan pangan, dan APD bagi para tenaga medis, juga fasilitas yang memadai bagi para pengidap Covid-19, memastikan harga bahan pokok yang ada di pasaran tidak melonjak melampau daya beli masyarakat, memberikan keringanan kepada para pelaku UMKM, menjamin informasi yang akurat dan transparan terkait perkembangan Covid-19 serta edukasi pencegahan dari pusat pimpinan hingga rukun tetangga.




Tidak ada komentar: